Alya
Rohalia
Alya mengawali
kariernya sebagai None Jakarta Barat 1994, kemudian terpilih sebagai Harapan I
None Jakarta 1994. Dua tahun kemudian Alya dinobatkan sebagai Puteri Indonesia 1996. Putri pasangan Rohali Sani dan
Atit Tresnawati ini juga menjadi Wakil Indonesia pada ajang Miss Universe 1996 di Amerika Serikat.
Setelah
tugasnya sebagai Puteri Indonesia usai, Alya mulai masuk ke dunia hiburan di
Indonesia. Alya membintangi beberapa sinetron, di antaranya Meniti Cinta,
Istri Impian, dan Kejar Kusnadi. Alya juga dikenal sebagai
pembawa acara. Bersama pembawa acara Helmi Yahya, dirinya sukses memandu acara secara
live Kuis Siapa Berani? yang ditayangkan di Indosiar.
Pada
tahun 2002, Alya meraih sebuah penghargaan Panasonic Award sebagai Presenter Kuis terfavorit.
Pada
Januari 2005, Alya Rohali juga sempat membawakan program religi Catatan Sergap
dalam Hikmah Fajar di RCTI.
Tahun
2006 kesibukan Alya bertambah. Alya mencoba jajaki dunia tarik suara dengan
menjadi produser sebuah album berjudul Alika
dari seorang penyanyi cilik, Alika, yang merupakan keponakan Alya sendiri. Alya, yang juga
berperan sebagai direktur 'Dignity Musik', mencoba menghadirkan musik anak-anak
dalam nuansa idealisme dan hiburan. Alika menghadirkan konsep musik
anak-anak yang beraliran R&B. Alika mencoba
membawakan musik R&B dengan misi kualitas vokal dan permainan piano. Album Alika terdiri 12 lagu, termasuk satu lagu
yang berbahasa Inggris.
Dicky Zulkarnaen
Dicky Zulkarnaen
(bernama asli Iskandar Zulkarnaen;
lahir di Jakarta, 12 Oktober 1939 – meninggal 10 Mei 1995 pada umur 55 tahun) adalah aktor Indonesia yang
telah banyak membangun citra perfilman Indonesia dan
pemeran film Jagoan Betawi.
Filmografi
- "Asmara dan Wanita"
(1961)
- "Kasih Tak
Sampai" (1961)
- "Kami
Bangun Hari Esok" (1963)
- "Daerah Tak Bertuan"
(1963)
- "Ekspedisi Terakhir" (1964)
- "Pilihan Hati" (1964)
- "Njanjian
di Lereng Dieng" (1964)
- "Takkan Lari Gunung Dikedjar"
(1965)
- "Terpesona" (1966)
- "Dibalik
Tjahaja Gemerlapan" (1966)
- "Disela-Sela Kelapa Sawit"
(1967)
- "Gadis
Kerudung Putih" (1967)
- "Big Village"
(1969)
- "Nji Ronggeng" (1969)
- "Si Bego
Menumpas Kutjing Hitam"
(1970)
- "Dan
Bunga-Bunga Berguguran"
(1970)
- "Si Pitung"
(1970)
- "Samiun dan
Dasima" (1970)
- "Kutukan" (1970)
- "Awan Djingga" (1970)
- "Romansa" (1970)
- "Perawan
di Sektor Selatan" (1971)
- "Impas" (1971)
- "Banteng Betawi" (1971)
- "Perawan Buta" (1971)
- "Salah
Asuhan" (1972)
- "Di Antara Anggrek Berbunga" (1972)
- "Intan Perawan
Kubu" (1972)
- "Si Bongkok"
(1972)
- "Pemberang" (1972)
- "Perkawinan"
(1972)
- "Anak Yatim" (1973)
- "Takdir" (1973)
- "Ita Si Anak
Pungut" (1973)
- "Last Tango in Jakarta"
(1973)
- "Dimana Kau Ibu" (1973)
- "Jauh Di Mata" (1973)
- "Rio Anakku"
(1973)
- "Laki-Laki Pilihan" (1973)
- "Romi dan Juli" (1974)
- "Bandung Lautan
Api" (1974)
- "Antara Anggrek Berbunga"
(1974)
- "Aku Cinta Padamu" (1974)
- "Neraka Perempuan" (1974)
- "Kemasukan Setan" (1974)
- "Sayangilah Daku" (1974)
- "Kehormatan" (1974)
- "Bobby" (1974)
- "Maria, Maria, Maria"
(1974)
- "Senyum di Pagi Bulan Desember" (1974)
- "Bony dan Nancy" (1974)
- "Semoga Kau
Kembali" (1976)
- "Cinta Abadi" (1976)
- "Naga Merah"
(1976)
- "Bang Kojak"
(1977)
- "Balada Dua
Jagoan" (1977)
- "Jeritan Si
Buyung" (1977)
- "Bandit-Bandit International" (1977)
- "Krakatau"
(1977)
- "Pengemis
dan Tukang Becak" (1978)
- "Senja di Polo Putih" (1978)
- "Jaringan Antar Benua"
(1978)
- "Petualang Petualang" (1978)
- "Bernafas Dalam Cinta"
(1978)
- "Si Ronda Macan Betawi"
(1978)
- "Janur Kuning" (1979)
- "Jaka Sembung" (1981)
- "Si Pitung
Beraksi Lagi" (1981)
- "Buaya Putih" (1982)
- "Pasukan Berani Mati" (1982)
- "Serbuan
Halilintar" (1982)
- "Warok Singo" (1982)
- "Kawin Kontrak" (1983)
- "Jaka Geledek" (1983)
- "Barang
Terlarang" (1983)
- "Don Muang
Incident" (1984)
- "Cinta Kembar" (1984)
- "Dalam Pelukan
Dosa" (1984)
- "Tak Ingin Sendiri" (1985)
- "Gadis Hitam Putih" (1985)
- "Darah Perjaka" (1985)
- "Kesan Pertama" (1985)
- "Freedom Force" (1986)
- "Perawan di Sarang Sindikat"
(1986)
- "Dendam Membara" (1987)
- "Pernikahan
Dini" (1987)
- "Luka di Atas
Luka" (1987)
- "Final Score" (1988)
- "Kristal-Kristal
Cinta" (1989)
- "Adikku
Kekasihku" (1989)
- "Zig Zag"
(1991)
- "Blood Wariors" (1993)
Firman
Muntaco
Firman Muntaco (lahir di
Jakarta, 5 Mei 1935, meninggal di Jakarta, 10 Januari 1993), adalah maestro
sastrawan Betawi.
Firman anak Betawi telah menelorkan cerpen Betawi mencapai 5000 buah,
tetapi yang sempat diselamatkan oleh Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin
hanya 499 cerpen.
Firman memilih dialek Betawi sebagai media ekspresinya. Dia meyakini
dialek Betawi punya keunggulan dan kekuatan untuk menyampaikan ide-ide sastra.
Dalam konteks ini Firman menyediakan dirinya sebagai wadah di mana dialek
Betawi yang dibentuk oleh komunitasnya menemukan kekuatannya. Terbukti, dalam
cerpen-cerpennya ia mahir berdialek Betawi dengan cara yang kadang-kadang luar
biasa, mengagetkan, mengagumkan, dan adakalanya berkilauan.
Segi paling menarik dari Firman adalah sifat kerakyatannya. Cerpen-cerpen
Firman dalam Gambang Djakarte (dua jilid, 1960), adalah ruang yang
menampilkan rakyat kecil di Jakarta dalam kehidupan sehari-hari. Dan yang
paling mengesankan adalah kemampuan Firman menyampaikannya dalam genre yang
paling sulit, yakni humor.
Buku Gambang Jakarta diterbitkan ulang tahun 2006.
Maudy Koesnaedi
Maudy Koesnaedi (lahir di Jakarta,
8
April 1975; umur 37 tahun) adalah seorang pemeran Indonesia.
Maudy mengawali karier di dunia entertainment lewat ajang pemilihan Abang None.
Ia dikenal masyarakat lewat perannya sebagai Zaenab
dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan.
Ia juga dikenal lewat sinetron Jangan Ucapkan Cinta sebagai Niken.
Ia menikah dengan Erik Meijer seorang laki-laki berkebangsaan Belanda
pada tahun 2002 dan dikaruniai satu orang anak, Eddy Maliq Meijer pada tahun
2007.
Bokir
H. Muhammad Bokir bin Dji'un (lahir di Cisalak
Pasar, Bogor, Jawa Barat, pada 25 Desember 1925 - wafat di Jakarta, 18 Oktober 2002) adalah seorang seniman lenong Betawi. Dia terlahir
dari pasangan Mak Kinang & Dji'un, serta bersaudara dengan Dalih bin Dji'un
dan Ni'iih bin Dji'un.
Film
- "Betty Bencong Slebor"
(1978)
- "Duyung Ajaib"
(1978)
- "Godaan Siluman Perempuan"
(1978)
- "Si Ronda Macan Betawi"
(1978)
- "Tuyul eee
Ketemu Lagi" (1979)
- "Begadang Karena Penasaran"
(1980)
- "Khana" (1980)
- "IQ Jongkok" (1981)
- "Okey Boss"
(1981)
- "Tomboy" (1981)
- "Telaga Angker"
(1984)
- "Malam Jumat Kliwon"
(1986)
- "Petualangan
Cinta Nyi Blorong" (1986)
- "Ranjang Setan"
(1986)
- "Ratu Buaya Putih" (1988)
- "Santet"
(1988)
- "Wanita Harimau"
(1989)
Sinetron
- Koboi Kolot
- Fatimah
- Angkot Haji Imron
Zarkasih
Nur
Zarkasih Nur (lahir di Ciputat, Tangerang, Jawa Barat, 21 April 1940; umur 72 tahun) adalah Menteri Negara
Koperasi dan UKM pada Kabinet Persatuan Nasional. Ia meraih gelar
sarjana pada tahun 1973 dari IAIN Syarif Hidayatullah dan merupakan
mantan politikus dari Partai Persatuan Pembangunan. Dia juga pernah
menjadi anggota DPR mewakili fraksi PPP. Dia juga salah satu pencetus
percepatan Muktamar PPP dari 2008 menjadi 2007 yang akhirnya menyebabkan
pemecatan dirinya dari PPP.
Benyamin
Celetukan "muke lu jauh" atau
"kingkong lu lawan" pasti mengingatkan masyarakat pada Benyamin Sueb.
Sejak kecil, Benyamin Sueb sudah merasakan getirnya kehidupan. Bungsu delapan
bersaudara pasangan Suaeb-Aisyah kehilangan bapaknya sejak umur dua tahun.
Karena kondisi ekonomi keluarga yang tak menentu, si kocak Ben sejak umur tiga
tahun diijinkan mengamen keliling kampung dan hasilnya untuk biaya sekolah kakak-kakaknya.
Benyamin sering mengamen ke tetangga menyanyikan lagu Sunda Ujang-Ujang Nur
sambil bergoyang badan. Orang yang melihat aksinya menjadi tertawa lalu
memberikannya recehan 5 sen dan sepotong kue sebagai "imbalan".
Penampilan Benyamin kecil memang sudah beda, sifatnya yang jahil
namun humoris membuat Benyamin disenangi teman-temannya. Seniman yang lahir di
Kemayoran, 5 Maret 1939 ini sudah terlihat bakatnya sejak anak-anak.
Bakat seninya tak lepas dari pengaruh sang kakek, dua engkong
Benyamin yaitu Saiti, peniup klarinet dan Haji Ung, pemain Dulmuluk, sebuah
teater rakyat - menurunkan darah seni itu dan Haji Ung (Jiung) yang juga pemain
teater rakyat di zaman kolonial Belanda. Sewaktu kecil, bersama 7
kakak-kakaknya, Benyamin sempat membuat orkes kaleng.
Benyamin bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari
barang bekas. Rebab dari kotak obat, stem basnya dari kaleng, drum minyak besi,
keroncongnya dari kaleng biskuit. Dengan "alat musik" itu mereka
sering membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu.
Kelompok musik kaleng rombeng yang dibentuk Benyamin saat berusia
6 tahun menjadi cikal bakal kiprah Benyamin di dunia seni. Dari tujuh saudara
kandungnya, Rohani (kakak pertama), Moh Noer (kedua), Otto Suprapto (ketiga),
Siti Rohaya (keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), dan Saidi (ketujuh),
tercatat hanya Benyamin yang memiliki nama besar sebagai seniman Betawi.
Benyamin memulai Sekolah Dasar (dulu disebut Sekolah Rakyat) Bendungan Jago
sejak umur 7 tahun. Sifatnya yang periang, pemberani, kocak, pintar, dan
disiplin, ditambah suaranya yang bagus dan banyak teman, menjadikan Ben sering
ditraktir teman-teman sekolahnya.
SD kelas 5-6 pindah ke SD Santo Yusuf Bandung. SMP di Jakarta
lagi, masuk Taman Madya Cikini. Satu sekolahan dengan pelawak Ateng. Di sekolah
Taman Madya, ia tergolong nakal. Pernah melabrak gurunya ketika akan kenaikan
kelas, ia mengancam, "Kalau gue kagak naik lantaran aljabar, awas!"
Lulus SMP ia melanjutkan SMA di Taman Siswa Kemayoran. Sempat setahun kuliah di
Akademi Bank Jakarta, tapi tidak tamat.
Baru setelah menikah dengan Noni pada 1959 (mereka bercerai 7 Juli
1979, tetapi rujuk kembali pada tahun itu juga), Benyamin kembali menekuni
musik. Bersama teman-teman sekampung di Kemayoran, mereka membentuk Melodyan
Boy. Benyamin nyanyi sambil memainkan bongo. Bersama bandnya ini pula, dua lagu
Benyamin terkenang sampai sekarang, Si Jampang dan Nonton Bioskop.
SI PITUNG
Pitung
adalah salah satu pendekar orang asli Indonesia berasal dari daerah Betawi yang
berasal dari kampung Rawabelong Jakarta Barat. Pitung dididik oleh kedua orang
tuanya berharap menjadi orang saleh taat agama. Ayahnya Bang Piun dan Ibunya
Mpok Pinah menitipkan Si Pitung untuk belajar mengaji dan mempelajari bahasa
Arab kepada Haji Naipin.
Setelah dewasa Si Pitung
melakukan gerakan bersama teman-temannya karena ia tidak tega melihat
rakyat-rakyat yang miskin. Untuk itu ia bergerilya untuk merampas dan merampok
harta-harta masyarakat yang hasil rampasannya ini dibagikan kepada rakyat
miskin yang memerlukannya.
Selain itu Pitung suka membela
kebenaran dimana kalau bertemu dengan para perampas demi kepentingannya sendiri
maka oleh Si Pitung akan dilawan dan dari semua lawannya Pitung selalu unggul.
Gerakan Pitung semakin meluas
dan akhirnya kompeni Belanda yang saat itu memegang kekuasan di negeri
Indonesia melakukan tindakan terhadap Si Pitung. Pemimpin polisi Belanda
mengerahkan pasukannya untuk menangkap Si Pitung, namun berkali-kali serangan
tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Pitung selalu lolos dan tidak mudah untuk
ditangkap oleh pasukan Belanda. Ditambah lagi, Si Pitung mempunyai ilmu kebal
terhadap senjata tajam dan senjata api.
Kompeni Belanda pun tidak
kehilangan akal, pemimpin pasukan Belanda mencari guru Si Pitung yaitu Haji
Naipin. Disandera dan ditodongkan senjata ke arah Haji Naipin agar memberikan
cara melemahkan kesaktian Si Pitung. Akhirnya Haji Naipin menyerah dan memberitahu
kelemahan-kelemahan Si Pitung.
Pada suatu saat, Belanda
mengetahui keberadaan Si Pitung dan langsung menyergap dan menyerang secara
tiba-tiba. Pitung mengadakan perlawanan, dan akhirnya Si Pitung tewas karena
kompeni Belanda sudah mengetahui kelemahan Si Pitung dari gurunya Haji Naipin.
Mohammad Husni Thamrin
(lahir di Weltevreden, Batavia, 16
Februari 1894 – meninggal
di Senen, Batavia, 11
Januari 1941 pada umur 46 tahun) adalah seorang politisi era Hindia
Belanda yang
kemudian dianugerahi gelar pahlawan
nasional Indonesia. Ayahnya
adalah seorang Belanda dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia dirawat oleh
pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak menyandang
nama Belanda.[1]
Ia dikenal sebagai salah satu
tokoh Betawi (dari organisasi Kaoem Betawi) yang
pertama kali menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat") di Hindia Belanda, mewakili kelompok Inlanders ("pribumi"). Sejak 1935 ia menjadi anggotaVolksraad melalui Parindra. Thamrin
juga salah satu tokoh penting dalam dunia sepak bola Hindia Belanda (sekarang Indonesia), karena pernah menyumbangkan
dana sebesar 2000 gulden pada tahun 1932 untuk mendirikan lapangan sepakbola khusus untuk rakyat Hindia
Belanda pribumi yang pertama kali di daerah Petojo, Batavia
(sekarang Jakarta).
Kematiannya penuh dengan intrik
politik yang kontroversial. Tiga hari sebelum kematiannya, ia ditahan tanpa
alasan jelas. Menurut laporan resmi, ia dinyatakan bunuh
diri namun ada
dugaan ia dibunuh oleh petugas penjara. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Di saat
pemakamannya, lebih dari 10000 pelayat mengantarnya yang kemudian
berdemonstrasi menuntut penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Belanda.[2]
Namanya diabadikan sebagai salah
satu jalan protokol di Jakarta dan proyek perbaikan kampung besar-besaran di Jakarta ("Proyek MHT")
pada tahun 1970-an .
MURTADO
Guru Mansur: Ulama Betawi bahasa Dari
Jembatan Lima
Guru Mansur dari Kampung Sawah, Jembatan Lima adalah seorang Guru sejati. Beliau dapat dikatakan satu generasi Guru Mugni dari kampung Kuningan. Kedua tokoh-tokoh itu pada zamannya disebut sebagai panutan orang Betawi Jakarta. Generasi Guru Mansur merupakan penerus ulama Betawi.
Guru Mansur adalah putera Imam Abdul Hamid bin Imam Muhammad bin
Damiri Imam Habib bin Abdul Mukhit. Abdul Mukhit adalah Pangeran Tumenggung
Tjokrodjojo Mataram.
Pada tahun 1894, Guru Mansur berangkat ke Mekkah ketika berusia 16 tahun bersama ibunya. Beliau tinggal di Mekkah selama 4 tahun untuk menuntut ilmu. Beliau berguru kepada Tuan Guru Umar Sumbawa. Beliau juga berguru kepada Guru Mukhtar, Guru Muhyiddin, Syekh Muhammad Hayyath. Selain itu, Guru Mansur juga berguru dengan Sayyid Muhammad Hamid, Syekh Kata Yamani, Umar al Hadromy, dan Syekh Ali al-Mukri.
Pada tahun 1894, Guru Mansur berangkat ke Mekkah ketika berusia 16 tahun bersama ibunya. Beliau tinggal di Mekkah selama 4 tahun untuk menuntut ilmu. Beliau berguru kepada Tuan Guru Umar Sumbawa. Beliau juga berguru kepada Guru Mukhtar, Guru Muhyiddin, Syekh Muhammad Hayyath. Selain itu, Guru Mansur juga berguru dengan Sayyid Muhammad Hamid, Syekh Kata Yamani, Umar al Hadromy, dan Syekh Ali al-Mukri.
Sekembalinya di kampung halamannya, Guru Mansur mulai membantu
ayahnya mengajar di madrasah Kampung Sawah. Sejak
tahun 1907, beliau mengajar di Jamiatul Khair, Kampung Tenabang. Di sinilah beliau mulai mengenal
tokoh-tokoh-tokoh Islam seperti Syekh Ahmad Syurkati dan KH Ahmad Dahlan yang
juga anggota Perkumpulan Jamiatul Khair.
Guru Mansur adalah penganjur kemerdekaan Indonesia. Beliau menyerukan agar bangsa
Indonesia memasang atau mengibarkan bendera merah putih. Beliau menyerukan Persatuan Umat yang
terkenal slogannya, rempuk! Yang
artinya musyawarah. Beliau
menuntut agar hari Jum'at dinyatakan sebagai hari libur bagi umat Islam. Pada tahun 1925 tatkala masjid Cikini
di Jalan Raden Saleh hendak dibongkar dan disetujui oleh Pengadilan Agama, Guru
Mansur melancarkan protes, sehingga pembongkaran masjid tersebut dibatalkan.
Pada tahun 1948 tatkala kota Jakarta berada dalam kekuasaan de
facto Belanda, Guru Mansur sering berurusan dengan Hoofd Biro kepolisian di
Gambir Karena beliau memasang bendera merah putih di Menara Masjid Kampung
Sawah. Meskipun di bawah ancaman NICA /Belanda, Guru Mansur tetap
mempertahankan Sang Saka Merah Putih berkibar di menara masjid.
Guru Mansur pernah dibujuk Belanda agar mengubah sikapnya yang
konfrontatif terhadap Belanda dan sebaliknya diminta agar menuruti apa saja yang
dikehendaki Belanda. Namun bujukan itu ditolak mentah-mentah. Dengan suara lantang,
Guru Mansur berkata, “Saya enggak mau ngelonin kebatilan."
Beliau adalah Guru yang amat dihormati, bukan saja oleh
Masyarakat Betawi tetapi juga kalangan luas.
Di masa hidupnya, Guru Mansur telah menulis 19 buku berbahasa
Arab.
Guru Mansur wafat pada hari Jum'at pada tanggal 12 Mei 1967
pukul 16.40. Beliau dimakamkan di
Masjid Al Auditan Mansuriah Kampung Sawah Jembatan Lima.
Syaikh Junaedi Al-Batawi
Ulama-ulama Betawi pada
abad ke 19 pasca Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah Syaikh Junaedi
Al-Batawi. Menurut C. Snouck Hurgronje, di Makkah pada perempatan ketiga abad
ke 19 ada “sesepuh” (nestor) para profesor Jawi yang berasal dari Betawi yang
bernama Junaed yang sudah menetap selama 50 tahun. Ketika berkunjung ke Makkah-menurut
Hurgronje-ia telah melakukan kajian-kajian mendalam di negeri asalnya tetapi
tidak pernah kembali ke negerinya. Jika Junaed sudah tiba di Makkah 50 tahun
yang lalu, maka berarti ia sudah tiba di Makkah di awal abad ke 19 M. Junaed
memiliki banyak murid di antaranya adalah KH. Mujtaba bin Ahmad atau dikenal
dengan Guru Mujtaba. Jika Guru Mujtaba akhirnya kembali ke Betawi pada 1904,
Syaikh Junaed Al-Batawi tetap tinggal di sana. Khabarnya Junaed meninggal dunia
di tanah suci akhir abad ke 19. Kendati tidak diketahui tanggal yang pasti
mengenai wafatnya, Junaed telah mendidik murid-muridnya asal Betawi menjadi
ulama-ulama besar. Sayang sekali sampai sekarang tidak diketahui di mana anak
dan keturunan Junaed berada sekarang.
Wendra
taabri thamrin
Mohammad
Husni Thamrin (lahir
di Weltevreden, Batavia, 16 Februari 1894 – meninggal
di Senen, Batavia, 11 Januari 1941 pada umur 46 tahun) adalah seorang politisi era Hindia Belanda yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia. Ayahnya adalah seorang Belanda
dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia dirawat oleh pamannya dari pihak ibu
karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak menyandang nama Belanda.[1]
Ia dikenal sebagai salah satu
tokoh Betawi (dari
organisasi Kaoem
Betawi) yang pertama kali menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat") di Hindia
Belanda, mewakili kelompok Inlanders ("pribumi"). Sejak 1935 ia menjadi anggota Volksraad melalui Parindra. Thamrin juga salah satu tokoh
penting dalam dunia sepakbola Hindia
Belanda (sekarang Indonesia), karena pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 Gulden
pada tahun 1932 untuk mendirikan lapangan sepakbola
khusus untuk rakyat Hindia Belanda pribumi yang pertama kali di daerah Petojo,
Batavia (sekarang Jakarta).
Kematiannya penuh dengan intrik
politik yang kontroversial. Tiga hari sebelum kematiannya, ia ditahan tanpa
alasan jelas. Menurut laporan resmi, ia dinyatakan bunuh diri namun
ada dugaan ia dibunuh oleh petugas penjara. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Di saat pemakamannya, lebih dari
10000 pelayat mengantarnya yang kemudian berdemonstrasi menuntuk penentuan
nasib sendiri dan kemerdekaan dari Belanda.[2]
Namanya diabadikan sebagai salah
satu jalan protokol
di Jakarta dan proyek
perbaikan kampung besar-besaran di Jakarta ("Proyek
MHT") pada tahun 1970-an .
1. Sayyid
usman bin yahya
Di
Jakarta pada pertengahan abad 18 muncul
seoranghabaib karismatik. Ia adalah Habib Usman bin Yahya, yang pernah menjadi
mufti Batavia di zaman Belanda.
Para habib, khususnya ulamanya, sejak ratusan tahun punya hubungan akrab
dengan para ulama, kiai, santri, dan ustadz asli Betawi. Sejak datang dari
Hadramaut pada abad ke-18, dan puncaknya pada akhir abad ke-19, mereka mendapat
tempat yang baik di hati para ulama Betawi. Bahkan ada yang mengatakan,
kehadiran mereka ibarat siraman darah segar bagi perkembangan Islam di tanah
air.
Salah satu saksi bisu
atas kehadiran para ulama habaib itu ialah Kampung Pekojan, tidak jauh
dari China Town di Glodok, Jakarta Barat. Sampai 1950-an,
mayoritas warga Pekojan terdiri dari keturunan Arab. Tapi belakangan, juga
sampai saat ini, keturunan Arab di Pekojan menjadi minoritas, sebab sebagian
besar hijrah ke kawasan selatan, seperti Tanah Abang, Jati Petamburan,
Jatinegara, dan kini Condet.
2.
Haji syafi i
Syahdan, dengan kapal layar,
pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syaikh Junaid, seorang ulama Betawi, menuju
Mekah. Di sana ia bermukm dengan menggunakan nama al-Betawi. Kefasihannya amat
termashur karena beliau dipercaya menjadi imam Masjidil Haram.
Syaikh Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama mashab Syafi’ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syaikh kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, ini.
Syaikh Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama mashab Syafi’ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syaikh kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, ini.
Syaikh
Junaid mempunyai dua putera dan puteri. Salah satu puterinya menikah dengan
Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di
Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya menikah dengan Imam
Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syaikh Junaid As’ad dan Arsyad, menjadi
pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada
1840 dalam usia 100 tahun.
Di
antara murid Syeh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di
dunia Islam adalah Syaikh Nawawi al Bantani, keturunan pendiri kerajaan Islam
Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul
Syaikh Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syaikh Junaid.
Imam
Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syaikh Junaid. Pasangan
ini menurunkan Guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta
Timur. Karena alimnya, guru Mujitaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat
Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru Mujitaba satu
angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syaikh Nawawi al Bantani dan
Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi.
Sedangkan
putera almarhum guru Marzuki, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga,
Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada
kedua orang tuanya.
Guru
Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di
Indonesia. Salah satunya adalah KH Abdullah Syafi’ie, yang mendirikan dan
mengembangkan Perguruan Assyafiiyah dengan sekolah mulai dari TK sampai
perguruan tinggi.
KH
Abdullah Sjafi’ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinuya menangani 63
lembaga pendidikan Islam. Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman,
Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, merupakan
masjid yang megah hingga sekarang.
3.
Kwee kek beng
Kwee Kek Beng Seorang
sastrawan Betawi peranakan Tionghoa, wartawan kenamaan dan pemimpin redaksi
surat kabar Sin Po (Jakarta). Tulisannya banyak mengagungkan nasionalisme
negeri leluhurnya, meskipun demikian karya-karyanya yang sangat khas
menggambarkan kehidupan masyarakat Betawi. Namun demikian ia bisa akrab bergaul
dengan tokoh pergerakan nasional Indonesia. Kwee Ke Beng lahir di Jakarta, 16 Nopember 1900 dan meninggal 31 Mei
1975. Ia seringkali menggunakan nama samaran "Anak Jakarta atau
Garem".
Kek Beng memulai menulis sejak ia
duduk di HCK (Hollands Chinese Kweek school) di Jatinegara, Jakarta. Setelah
lulus (1922) ia menjadi guru di Bogor, tetapi tak lama kemudian ia pindah ke
surat kabar Bin Seng dan kemudian ke Sin Po. Kariernya terus menanjak sampai ia
menjadi pemimpin redaksi surat kabar Sin Po yang pernah menolak tulisannya.
Kek Beng termasuk wartawan
peranakan yang dicari-cari Jepang ketika negara ini menduduki Indonesia. Namun
ia berhasil menyembunyikan diri di Bandung. Kek Beng akrab bergaul dengan para
pemimpin pergerakan nasional terutama dari kalangan Partai Nasional Indonesia.
Sebagai pemimpin redaksi ia mengijinkan pamuatan lagu Indonesia Raya dalam
surat kabar Sin Po, karena pengarang lagu tersebut (W.R. Supratman) juga wartawan di surat kabar
itu. Kek Beng menulis cukup banyak buku, namun yang terkenal adalah Doea Poeloe
Lima Taon Sebagai Wartawan (1948) tentang pengalamannya sebagai wartawan.
Tulisan-tulisan Kwee Kek Beng mirip sketsa, dan sangat kaya dengan
ungkapan-ungkapan yang hidup dalam masyarakat Betawi. Di kalangan sastrawan
atau wartawan sejamannya, ia dikenal sebagai pelopor "pojok", sebuah
rubrik di surat kabar atau majalah yang berisi kritik sosial atas berbagai
persoalan aktual yang terjadi di tengah masyarakat. Ia sangat terpelajar.
Menulis 6 judul buku. Ia wartawan yang sangat terkenal. Kritik-kritiknya
disegani karena ilmiah.
Haji abdul manaf
Memperingati
Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei, perlu kiranya saya mengulas
sosok KH Abdul Manaf Mukhayyar, tokoh pendidikan dari tanah Betawi, yang telah
berhasil membangun salah satu pondok pesantren terkemuka di Jakarta, bahkan
tersohor di seluruh nusantara hingga Asia Tenggara, yaitu Pondok Pesantren
Darunnajah, yang beralamatkan di Jl Ulujami Raya No 86 Pesanggrahan, Jakarta
Selatan.
KH Abdul Manaf Mukhayyar adalah wakif,
yaitu orang yang telah mewakafkan tanahnya untuk lokasi pembangunan Darunnajah.
Ia juga membelanjakan hartanya untuk menggaji guru, membelanjakan uangnya untuk
membangun madrasah, dan menutup biaya operasional pada saat awal mula pendirian
pesantren ini. Abdul Manaf juga penggagas ide pendirian lembaga pendidikan yang
mengajarkan agama Islam dan mencetak kader-kader ulama.
Pada awal 2012, Yayasan Darunnajah sudah
memiliki 14 pesantren di seluruh Indonesia dengan ribuan santri yang menuntut
ilmu agama Islam di dalamnya. Kini, dikelola oleh KH Mahrus Amin, menantu dari KH
Abdul Manaf Mukhayyar.
KH Abdul Manaf Mukhayyar lahir di kampung
Kebon Kelapa, Palmerah, pada Kamis 29 Juni 1922 dari pasangan Haji Mukhayyar
dan Hj Hamidah. Ia adalah anak keempat dari 11 bersaudara. Sejak kecil, H
Mukhayyar (ayah KH Abdul Manaf Mukhayyar) sudah menanamkan kebiasaan beribadah
bagi anak-anaknya, termasuk kepada Abdul Manaf. Saat bulan puasa, anak-anaknya
diajak ke masjid untuk shalat tarawih. Ayah H Mukhayyar, H Bukhori, juga ikut
membimbing cucu-cucunya.
Untuk pendidikan awalnya, ia dikirim oleh
ayahnya untuk belajar di sekolah Belanda dan sore harinya belajar mengaji ke
madrasah. Pada waktu itu, hanya orang-orang yang secara ekonomi mampu atau
memiliki kedudukan di pemerintahan saja yang bisa belajar di sekolah Belanda.
Abdul Manaf kecil termasuk beruntung karena H Mukhayyar termasuk orang kaya. Ia
memasukkan Abdul Manaf ke volksschool (sekolah dasar) selama tiga tahun di
Pengembangan Palmerah pada usia 10 tahun. Dari volksschool, Abdul Manaf
melanjutkan ke vervolegschool (sekolah lanjutan) selama dua tahun.
Selain belajar di sekolah, sore hari
selepas pulang dari vervolegschool, Abdul Manaf muda mengikuti pengajian di
rumah Haji Sidik di Bendungan Hilir.
Setamat dari vervolegschool, Abdul Manaf
meminta izin kepada orang tuanya untuk belajar di Jamiatul Khair yang terletak
di daerah Karet, Tanah Abang. Ini adalah lembaga pendidikan madrasah yang
sangat maju pada masanya. Murid-murid di madrasah ini diajar bahasa Arab dan
guru-gurunya kebanyakan dari Timur Tengah. Pada saat itu, Jamiatul Khair
termasuk sekolah terpandang karena para muridnya umumnya dari kalangan
orang-orang Arab yang kaya. Abdul Manaf adalah pengecualian. Meskipun ia bukan
keturunan Arab, ia diterima dan belajar di sekolah yang pada kemudian hari
menjadi inspirasinya untuk mendirikan Pesantren Modern Darunnajah.
Ia juga sempat belajar bahasa Belanda pada
1942 untuk menambah pengetahuannya, tapi hal itu hanya berlangsung selama dua
bulan karena penggunaan bahasa Belanda dilarang akibat datangnya penjajah
Jepang di Tanah Air. Bahasa Belanda tidak diajarkan di Jamiatul Khair. Sebagai
gantinya, bahasa Inggris diajarkan sebagai pelajaran wajib. Sebenarnya, setelah
ibtidaiyah, masih ada tingkat tsanawiyah yang ditempuh selama tiga tahun.
Lulusan tsanawiyah Jamiat Khair bisa melanjutkan ke Makkah atau ke Mesir.
Namun, Abdul Manaf tak mengambilnya. Datangnya penjajahan Jepang dan kesulitan ekonomi agaknya menjadi alasannya kala itu.
Namun, Abdul Manaf tak mengambilnya. Datangnya penjajahan Jepang dan kesulitan ekonomi agaknya menjadi alasannya kala itu.
Pada 1939, saat menempuh studi di Jamiat
Khair inilah, muncul ide dalam diri Abdul Manaf untuk mendirikan madrasah
dengan sistem modern. Ide ini diwujudkan dengan mendirikan Madrasah Islamiyah
pada 1942 dengan sistem pengajaran modern mencontoh Jamiatul Khair. Saat itu,
Abdul Manaf belum mengenal pola pondok pesantren. Selain madrasah untuk
mengajarkan agama, Abdul Manaf juga memiliki niat mendirikan sekolah gratis
untuk orang fakir.
Niat mulia mendirikan sekolah juga tak
lepas dari pesan guru-gurunya di Jamiatul Khair yang selalu diingatnya. Pesan
itu antara lain agar Abdul Manaf menjadi orang jujur, tidak mengesampingkan
pendidikan, selalu shalat berjamaah, dan tidak melupakan kaum fakir miskin.
Konon, saat masih duduk di bangku Jamiatul Khair, Abdul Manaf pernah menulis
kata-kata dalam bahasa Arab pada salah satu kitab dengan bunyi idza sirtu
ghaniyyan aftah madrasah lil fuqara' majjanan. Artinya, kalau saya jadi orang
kaya, saya akan membuka sekolah gratis untuk anakanak yang tidak mampu. Inilah
cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta sekarang yang
dipimpin oleh menantunya, KH Mahrus Amin, di bawah naungan Yayasan
Kesejahteraan Masyarakat Islam (YKMI) yang ia dirikan bersama teman-temannya.
Ia juga bukan hanya perintis Pondok
Pesantren Darunnajah, melainkan juga seorang pejuang. Majalah Pesan pada 1989
memuat profil Abdul Manaf dalam salah satu artikelnya. Disebutkan bahwa pada
masa revolusi fisik, Abdul Manaf dibantu ayahnya membuka dapur umum untuk
keperluan para pejuang. Dia juga turut memanggul senjata di sekitar wilayah
Rawabelong, Kebayoran Lama, dan Palmerah.
Pada 21
September 2005, tokoh pendidikan Islam dari Betawi ini meninggalkan kita semua
pada umur 83 tahun, mewariskan sebuah lembaga pendidikan Islam terkemuka yang
menjadi pendidikan generasi umat Islam juga untuk kaum Betawi.
Al habib husein bin abu bakar
alydrus
Beliau lahir di
Migrab, dekat Hazam, Hadramaut, Datang di Betawi sekitar tahun 1746 M.
Berdasarkan cerita, bahwa beliau wafat di Luar Batang, Betawi tanggal 24 Juni
1756 M. bertepatan dengan 17 Ramadhan 1169 Hijriyah dalam usia lebih dari 30
tahun ( dibawah 40 tahun ). Jadi diduga sewaktu tiba di Betawi berumur 20
tahun. Habib Husein bin Abubakar Alaydrus memperoleh ilmu tanpa belajar atau
dalam istilah Arabnya “ Ilmu Wahbi “ , yaitu pemberian dari Allah tanpa belajar
dahulu. Silsilah beliau : Habib Husein bin Abubakar bin Abdullah bin Husein bin
Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Husein bin Abdullah bin Abubakar Al-Sakran bin
Abdurrahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin
Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath.
Habib Husein yang
lebih terkenal dengan sebutan Habib Keramat Luar Batang, mempunyai perilaku “
Aulia “ (para wali) yang di mata umum seperti ganjil. Seperti keganjilan yang
dilakukan beliau, adalah :
Habib Husein tiba di
Luar Batang, daerah Pasar Ikan, Jakarta, yang merupakan benteng pertahanan
Belanda di Jakarta. Kapal layar yang ditumpangi Habib Husein terdampat didaerah
ini, padahal daerah ini tidak boleh dikunjungi orang, maka Habib Husein dan
rombongan diusir dengan digiring keluar dari teluk Jakarta. Tidak beberapa lama
kemudian Habib Husein dengan sebuah sekoci terapung-apung dan terdampar kembali
di daerah yang dilarang oleh Belanda. Kemudian seorang Betawi membawa Habib
Husein dengan menyembunyikannya. Orang Betawi ini pun berguru kepada Habib
Husein. Habib Husein membangun Masjid Luar Batang yang masih berdiri hingga
sekarang. Orang Betawi ini bernama Haji Abdul Kadir. Makamnya di samping makam
Habib Husein yang terletak di samping Masjid Luar Batang.
Habib Husein sering
tidak patuh pada Belanda. Sekali Waktu beliau tidak mematuhi larangannya,
kemudian ditangkap Belanda dan di penjara di Glodok. Di Tahanan ini Habib
Husein kalau siang dia ada di sel, tetapi kalau malam menghilang entah kemana.
Sehingga penjaga tahanan (sipir penjara) menjadi takut oleh kejadian ini.
Kemudian Habib Husein disuruh pulang, tetapi beliau tidak menghiraukan alias
tidak mau pulang, maka Habib Husein dibiarkan saja. Suatu Waktu beliau sendiri
yang mau pergi dari penjara.
itu hanya beberapa contoh dari sekian banyaknya pahlawan yang berasal dari Betawi.insyaallah,akan kami tambahkan lagi.wassalam.